-->
Masuk

Notification

×

Iklan

Klarifikasi Pemprov NTT Terkait Kepemilikan Lahan Besipae

Sabtu, 22 Oktober 2022 | Oktober 22, 2022 WIB Last Updated 2022-10-23T06:18:08Z

 


Kupang,mwartapedia.com  - Besipae kembali memanas. Kasus saling klaim kepemilikan lahan antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan masyarakat kembali terjadi.


Puncaknya, pada Jumat (21/10/2022), Pemprov NTT membongkar rumah warga di Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS). Padahal rumah-rumah itu merupakan rumah yang dibangun oleh Pemprov untuk warga pada tahun 2020.


“Jadi, khusus untuk melakukan penertiban pembongkaran itu, karena apa?, karena mereka menghalang-halangi program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah,” kata Kepala Badan Pendapatan dan Aset daerah NTT, Alex Lumba, kepada wartawan di Kupang, Sabtu (22/10/2022) sore.


Alex mengatakan, pembongkaran rumah tersebut terpaksa dilakukan karena ada oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab mencoba untuk menghalang-halangi program pemerintah.


Menurutnya, alasan pemerintah sampai membangun rumah adalah alasan kemanusiaan. Semua itu adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama.




Ia menegaskan, aksi protes yang dilakukan oleh warga Besipae tersebut sama seperti kejadian pada tahun 2020 lalu. Dimana, pada aksi berlangsung itu mengedepankan perempuan dan anak.


“Pada saat proses pembangunan ini berjalan, alat-alat berat mulai bekerja, pola yang mereka pakai adalah sama seperti kejadian kali lalu dalam melakukan aksi protes. Mereka mengedepankan perempuan dan anak-anak. Ada buktinya pada saat eksavator jalan, perempuan dan anak-anak naik di atas eksa dan memaksa pihak operator untuk menjalankan eksa,” terangnya.


Setelah kejadian itu berlangsung, kata dia, pihak pemerintah melakukan rapat. Kesepakatan dalam rapat tesebut bahwa para okupan harus ditertibkan.


“Ditertibkan dengan cara apa?, ditertibkan cara melakukan pembongkaran kembali rumah-rumah yang telah disiapkan oleh pemerintah, karena mereka adalah penghuni ilegal. Bahkan ada penambahan beberapa rumah yang dibangun oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” katanya.


Ia menegaskan para okupan-okupan tersebut sebagian besar tidak memiliki KTP.


“Jadi, dari para okupan itu, teman-teman bisa cek sendiri, mereka itu tidak ber KTP, dimana lokasi rumah itu dibangun. Mungkin ada satu dua orang saja, sebagian besar tidak punya KTP,” tegasnya.




Alex Lumba mengatakan tanah seluas 3.780 hektare di kawasan Besipae merupakan milik pemprov NTT. Tanah tersebut, tambah Alex, pada tahun 1982 diserahkan ke Pemprov NTT oleh keluarga besar Nabuasa yang diwakili oleh Meo Pae dan Mei Besi dan disaksikan oleh para kepala desa dari lima desa pada waktu itu.


Setelah tanah tersebut diserahkan ke Pemprov NTT kala itu, jelas dia, tanah tersebut digunakan untuk pengembangan peternakan di provinsi Nusa Tenggara Timur.


“Karena kita tahu bahwa pada saat itu NTT khususnya pulau Timor dikenal sebagai gudang ternak,” kata Alex.


Pada tahun 1986, Pemerintah Provinsi NTT memroses sertifikat di atas kawasan Besipae tersebut. Dan sertifikatnya sudah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1986.


“Dalam waktu berjalan, pada tahun 2012, sertifikat tersebut hilang, kemudian diproses ulang oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan sudah ada sertifikatnya,” katanya.


Pada tahun 2012 itu juga, kata dia, ada okupan yang dimotori oleh keluarga Selan cs, dan Nikodemus Manao bersama 37 KK mengokupasi tanah tersebut, bahkan mereka mengusir pegawai instalasi peternakan yang bekerja di lokasi tersebut.


Setelah mengusir pegawai instalasi peternakan, kemudian Selan cs, dan Nikodemus Manao bersama 37 KK menempati gedung-gedung instalasi gedung peternakan.


“Teman-teman boleh cek sendiri. Gedung-gedung tersebut masih berdiri sampai sekarang,” ujarnya.


Seiring waktu berjalan, Pemprov NTT melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat dari lima desa setempat. Sebelum melaksanakan program-program dimaksud, sudah dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat.


Namun, anehnya, kata dia, pada saat melaksanakan program tersebut, ada aksi penolakan yang dilakukan oleh 37 Kepala Keluarga (KK) tersebut.


“Nah, pada saat itu, ada aksi penolakan, aksi protes, aksi demo yang oleh ke 37 KK tersebut di lokasi. Mungkin teman-teman sudah ikuti pada waktu itu di tahun 2020, kejadian itu juga sama seperti saat ini,” katanya.


Ia menjelaskan, setelah adanya aksi penolakan warga setempat, pihak Pemprov NTT menghubungi keluarga besar Nabuasa untuk meminta memberikan lahan agar ke 37 KK bisa direlokasi ke lahan yang diberikan.


“Namun, sebelum itu juga pemerintah membangun sejumlah 14 rumah di lokasi tersebut untuk menampung mereka, para okupan ini. Dan juga akan memberikan lahan seluas 800 meter persegi diberikan kepada mereka untuk mereka berusaha, bertani, dan lain sebagainya di tempat itu,” jelasnya.


Namun, kata dia, dari 37 KK tersebut, hanya 19 KK yang menerima. Sedangkan 18 KK menolak. 


“Padahal pemerintah sudah bangun rumah, tanah sudah disiapkan oleh keluarga Nabuasa. Sehingga 19 KK ini sampai saat ini masih mendiami tanah yang disediakan oleh keluarga Nabuasa. Tehadap 18 KK ini, setelah proses demo, aksi dan lain sebagainya mereka lakukan, setelah itu mereka hilang. Mereka menghilang dari lokasi tersebut sekian waktu,” ujarnya. (MI)

×
Berita Terbaru Update